Sejarah Awal Muhammadiyah Di Kalimantan Selatan

SMP Muhammadiyah Sungai Pandan
0

    Sejarah awal masuknya Muhammadiyah di Kalimantan Selatan tidak bisa dipisahkan dari peran dua orang tokohnya, yaitu H. M. Jaferi dan H. Usman Amin. Oleh karena itu, sebelum membahas tentang eksentensi Muhammadiyah Kalimantan Selatan saat ini, maka terlebih dahulu dipaparkan tentang biografi H.M. Jaferi.
     M. Japeri putera dari ayah H. Umar dan Ibu St. Hawa, ia lahir pada tahun 1292 H, kira-kira tahun 1875 M. Ia berasal dari keluarga yang terkemuka dan terpandang di Alabio. Kakeknya dari pihak bapaknya bernama H. Saefuddin terkenal sebagai seorang yang kuat fisik dan berani. Dua saudara kakeknya itu, H. Aminuddin dikenal karena kayanya dan H. Alimuddin karena alimnya.
Sejak umur 6 tahun sebagai biasa dilakukan oleh anak-anak lainnya, M. Japeri mulai belajar membaca Alquran yang dapat dikhatamkannya dalam waktu satu setengah tahun. Setelah itu melanjutkan belajar membaca kitab agama. Mula-mula di Alabio, kemudian ke Nagara (Kab. Hulu Sungai Selatan kini), setelah itu ke Pamangkih (Kabupaten Hulu Sungai Tengah sekarang) dan ke Kelua (Kabupaten Tabalong sekarang).
     Dalam usia 15 tahun, ia naik haji dan tinggal bermukim di Mekkah untuk mengkaji agama selama 5 tahun. Dikenal sebagai seorang yang sangat giat belajar, hingga sampai di waktu tidur malam hari menggunakan bantal dari buah kelapa, sebagai yang pernah sebelumnya dilakukan oleh ulama besar Kalimantan alm. Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari yang kini bermakam di Kelampaian, Martapura.
     Dalam usia lebih kurang 20 tahun H. M. Japeri kembali ke Alabio, kawin dengan Hj. St. Safiah yang kemudian melahirkan 4 orang anak lelaki, yaitu Abdul Karim Japeri (sudah meninggal, yang kemudian kawin dengan St. Hadijah, mak cilik dari K.H. Zuchlah Kusumo dan H. Djarnawi Kusumo), M. Hasan Japeri, M. Kasyful Anwar Japeri (kini Naib dan Kepala Madrasah Mualimin Muhammadiyah di Alabio) dan Achmad Tajuddin Japeri (kini pedagang di Banjarmasin).
Dengan usia yang masih muda dan fisik yang segar, dengan tubuhnya yang tinggi semampai tapi berisi dengan kulitnya yang putih hingga mudah menarik perhatian, beliau mulai mengajar agama. Dan sudah termasuk seorang ulama muda. Seorang yang agak pendiam, tapi ramah.
     Kegiatan yang dilakukannya ialah membangun sebuah balai, yaitu untuk langgar/mushalla, yang di Alabio lazim dinamakan “madrasah”. Selain untuk tempat shalat jamaah lima waktu, juga untuk tempat memberikan pengajian agama sebelum dan sesudah shalat.
Bagi kaum pria diberikan pengajian agama secara khusus tiap hari Ahad, hingga termashur dengan sebutan me-Ahad. Bagi kaum wanita diberikan pada hari Senin yang mashur dengan sebutan “nyenayan”. Tiap hari Selasa memberikan pelajaran ke luar Alabio, yaitu ke kampung Jarang Kuantan (dekat Amuntai) dilakukan dengan naik kereta kuda, perahu atau mobil. Hari-hari Rabu, Kamis, Jum’at dan Sabtu merupakan hari cadangan untuk memenuhi undangan ke tempat-tempat lain.
     Jadi dalam satu minggu semua hari digunakan dan disediakan untuk kepentingan pengajian atau dakwah Islamiyah.
Bagian bawah dari madrasah dijadikan pondokan bagi santri (penuntut agama) yang datang mengaji berasal dari Kelua, Tanjung, Tawia (Kandangan), Rantau, Negara, dan lain-lain.
Hari-hari besar Islam terutama Idul Fitri dan Idul Adha disambut dan dirayakan besar-besaran di antaranya dengan   menyembelih kerbau sampai 5 atau 6 ekor. Diskusi-diskusi agama selalu beliau adakan dengan para ulama Alabio.
      Dalam usia 32 tahun, pada tahun 1907 setelah 12 tahun mengajar, beliau diangkat menjadi khatib Mesjid Jami’ Alabio yang dipegangnya sampai wafatnya.
      Pada tahun 1908 diangkat menjadi anggota Road Agama dan pernah diminta untuk menjadi mufti di Amuntai, tetapi beliau tolak, karena merasa lebih suka menjadi orang swasta.
     Rumah beliau selalu ramai dikunjungi penduduk dengan bermacam-macam maksud. Ada yang bertanya masalah agama, ada yang minta pikiran dan nasehat mengenai kesulitan-kesulitan yang terjadi, seperti masalah faraid, kesulitan rumah tangga antara suami isteri, bahkan sampai masalah jual-beli, keuangan, dan lain-lain.

A. Menerima Benih Muhammadiyah
     H. M. Japeri seorang ulama yang giat mengajar dan berdakwah, juga giat belajar. Kitab-kitab yang memenuhi almari kitabnya, kebanyakan berbahasa Arab dan tidak hanya menjadi pameran atau pajangan. Tetapi dibaca, terbukti dari adanya catatan-catatan dengan potlot atau dawat yang terdapat dipinggir halaman kitab-kitab itu.
    Dan untuk lebih menambah pengetahun, beliau berlangganan majalah “Al-Munir” yang diterbitkan di Sumatera Barat.
   Ketika Serikat Islam berkembang di Kalimantan, maka di Alabio juga berdiri cabangnya pada tanggal 22 Desember 1914. pemimpin SI dari Jawa, alm. H. O. Tjokroaminoto pernah datang ke Kalimantan, termasuk ke Alabio. H. M. Japeri termasuk anggota SI di Alabio.
    Di Surabaya, ketika itu bertempat tinggal seorang berasal dari Alabio, yaitu alm. H. Usman Amin, seorang pedagang dan terkemuka di kalangan masyarakat Banjar (Kalimantan) dan penduduk Surabaya di Surabaya, dengan H. Usman Amin yang menjadi sahabatnya, H. M. Japeri sering mengadakan hubungan surat menyurat. Dari H. Usman Amin, H. M. Japeri mulai mendapat keterangan tentang adanya sebuah gerakan Islam di Yogyakarta, yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan, yang bermaksud menyiarkan agama Islam yang murni, bersumber Alquran dan Sunnah Rasul, dengan jalan mendirikan sekolah-sekolah, balai-balai kesehatan, panti-panti asuhan dan memelihara mesjid-mesjid, gerakan itu ialah Muhammadiyah.
   H. M. Japeri sejak dari masa mengajinya di Mekkah kemudian dengan hasil bacaannya dari majalah-majalah, memang sudah selalu mengikuti perkembangan mulainya kebangkitan umat Islam, baik di Indonesia sendiri, terutama di Jawa dan Sumatera, maupun di luar negeri seperti Mesir, Arabia, India, dan lain-lain.
    Semuanya itu menimbulkan rasa serasi dengan apa yang diterangkan oleh H. Usman Amin tentang Muhammadiyah kepadanya.
    Sebelum secara resmi menerima dan menabur benih Muhammadiyah di Alabio, H. M. Japeri sudah mulai berusaha dengan lebih sungguh-sungguh untuk memperbaiki dan memajukan umat Islam di Alabio dan sekitarnya, yakni dengan jalan mengajak persatuan, memberikan pengajaran dan tabligh sepanjang kemauan ajaran agama Islam, berdasarkan Alquran dan Sunnah. Bersungguh-sungguh beliau merubah ke arah sikap yang baru. Menggantikan yang kolot dengan cara yang modern, yang tidak lepas dari rel agama.
   Sejak itu sudah mulai beliau dapati tantangan dan reaksi dari ulama lainnya dan juga dari masyarakat yang tidak dapat menerima perubahan-perubahan itu. Sejak itu sudah beliau terima pahit getir dan kesukaran dalam usahanya mencari keridhaan Allah.
   Dalam bulan Maret 1923, beliau berangkat ke Yogyakarta. Sengaja pergi sendiri mengantar puteranya untuk sekolah memasuki HIS met de Quran yang didirikan oleh Muhammadiyah. Ditemani oleh H. Usman Amin dari Surabaya. Kunjungan ke Yogyakarta itu sekaligus untuk melihat dan menyaksikan sendiri amalan-amalan usaha Muhammadiyah.
   Sayang sekali beliau tidak sempat bersua dengan KH. Ahmad Dahlan, karena sudah meninggal dunia pada tanggal 23 Februari 1923. Yang beliau tengok ialah makam kubur KH. A. Dahlan di Karangkajen, Yogyakarta.
   Yang menarik kunjungan beliau dalam kunjungan di kota Yogyakarta dengan diantar oleh seorang anggota HB Muhammadiyah ialah bangunan-bangunan dan gedung-gedung amalan usaha Muhammadiyah, yaitu sekolah-sekolah sejak SR sampai Wustha, Kweekschool dan lain-lain. Rumah-rumah pemeliharaan orang-orang miskin, orang-orang jompo, buta, anak-anak yatim. Melihat poliklinik rumah sakit dan apotiknya. Meninjau langgar, surau, mushalla dan mesjid dan percetakan “Persatuan” yang menerbitkan majalah-majalah termasuk SM Suara Muhammadiyah atau buku-buku pelajaran.
   Mengunjungi pula internaat (asrama) pelajar Muhammadiyah di Ngapilan yang berasal dari Jawa, Sumatera, Sulawesi, di mana tamu-tamu dari Kalimantan itu dihibur dengan berbagai atraksi.
Sekembalinya dari yogyakarta dan setibanya di Alabio dalam bulan April 1923, H. M. Japeri langsung mengadakan musyawarah dengan teman-teman beliau sendiri dari ulama, hartawan, dermawan dan budiman, yang berhasil kemudian secara resmi mendirikan organisasi Muhammadiyah di Alabio.
  Teman-teman beliau yang menjadi orang-orang pertama bersama beliau mendirikan Muhammadiyah di Alabio, ialah alm. H. Djantera, H. Arsyad, H. Abulhasan, H. Sahari, H. Hanafiah, H. Bastami, H. Achmad (penghulu), H. Ahmad Hudari, H. Mansur, H. Hasbullah, H. Japeri Hambuku, Abdullah Maseri, H. Tahir (penghulu), Bastami Jantera dan lain-lain.
H. M. Japeri menjadi Anggota Muhammadiyah pertama untuk Kalimantan. Kartu anggota (bewys van Jidmaatschap) Muhammadiyah beliau bernomor I/12.541. No. 1 menunjukkan angka anggota Muhammadiyah dan No. 12.541 menyatakan jumlah anggota Muhammadiyah seluruh Indonesia dewasa ini.
    Yang segera beliau dan kawan-kawan usahakan ialah mendirikan sekolah Muhammadiyah. Karena belum ada gedung sendiri, maka pertama kali sekolah itu bertempat di rumah seorang dermawan yaitu Mas Ridwan bersama isterinya.
   Di tengah berbagai macam halangan dan rintangan, dengan mengatasi beraneka kesulitan, kemudian berhasil dibangun gedung untuk sekolah itu. Dengan beliau sendiri yang lebih dulu memberikan contoh memberikan dana berupa uang kontan dan bahan bangunan, maka dalam suatu pertemuan antara anggota-anggota Muhammadiyah, berhasil dikumpulkan dana yang kemudian dapat digunakan untuk membangun sebuah gedung besar dengan fondamen batu di atas tanah di batas dua kampung yaitu kampung Teluk Betung dan Pandulangan, dengan biaya ± 30.000 golden (f) pada tanggal 13 Juli 1926.
     Dan setelah gedung itu disertai dengan peralatannya selesai, maka sekolah Muhammadiyah pindah dari rumah  H. Matseman ke gedung sendiri, yang mendapat sambutan hangat dan kesyukuran dari warga Muhammadiyah, khususnya H. M. Japeri karena merasa usaha dan cita-citanya yang nyata dan pertama telah terwujud.
  Berturut-turut setelah itu dengan dipelopori beliau, dibangun gedung-gedung keperluan Muhammadiyah lainnya, yaitu: Kantor Pengurus Muhammadiyah lengkap dengan bibliotiknya, Rumah Panti Asuhan Yatim, Sekolah Wustha/Mualimin yang menjadi tempat mendidik guru dan kader penyebar Muhammadiyah di Kalimantan. Sekolah Aisyiyah khusus untuk tempat belajar kaum puteri/wanita. Koperasi untuk mendidik usaha bersama dan memajukan kegiatan Muhammadiyah. Penerbitan majalah bersama “Seruan Muhammadiyah” dipimpin Bastami Jantera. Dan merawat dan memelihara mesjid Jami’ Alabio.
   Untuk memajukan sekolah-sekolah Muhammadiyah, didatangkan guru-guru dari Jawa, Sumatera dan Sulawesi yang telah terlatih dan terdidik di Yogyakarta. Antaranya selain yang pertama kali Mas Ridwan dan isteri, ialah H.M. Junus Anis dan Moh. Muammal (alm) (dari Yogyakarta). Ahmad Hasan dan Siti Zaman Lembang Alam (dari Sumatera), M. Kasim (dari Manado, Sulu).
Guru puterinya selain yang bersama suami seperti ibu Mas Ridwan dan St. Murah bersama suami Asad Alkalali (orang Arab dari Cirebon), St. Hadijah (Kauman, Yogyakarta) bersama suami  Abdul Karim Japeri dan St. Muhaiyah (Ngabean, Yogyakarta) bersama suami Mahjub.
   Keluarga Muhammadiyah Alabio sendiri yang menjadi guru tidak sedikit. Selain H. M. Japeri, sendiri ialah H. Bastami, Ardi Lait, Dahlan Saal, Abdul Karim Japeri, H. Amran Abdullah (bekas ketua PMW Kalimantan Selatan) dan lain-lain. Dari pihak puteri antaranya St. Masjamiah Amran Abdullah, Siti Fatimah Saifuddin, Siti Maimunah Hasan dan lain-lain.
   Sekolah-sekolah yang mutu pelajaran umumnya dipersamakan dengan pelajaran sekolah negeri dan mendapat subsidi pula dari pemerintah, ditambah dengan pengetahuan agama dan kemuhammadiyahan, berjalan dengan pesat. Dan mengeluarkan hasil siswa-siswa yang dapat diandalkan. Di samping itu kegiatan tabligh makin berjalan nyata, Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah, HW dan lain-lain mendapat sambutan hangat, di antara yang senang dan tidak senang.
   Untuk pembinaan amal usaha Muhammadiyah dan gerakan dakwahnya di masa selanjutnya, maka dikirim pula pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi keluarga Muhammadiyah Alabio belajar ke Jawa, yaitu Surabaya, Yogyakarta, Solo dan Jakarta.

B. Sebarkan dan Dirikan Muhammadiyah di Tempat-Tempat Lain
   Setelah pada tahun 1927 H. M. Japeri naik haji yang kedua kalinya bersama isteri beliau dan seorang putera beliau Kasyful Anwar dan menetap di Mekkah selama satu tahun, maka sekembalinya di Alabio tahun 1928 dalam usia yang bertambah lanjut, kegiatan beliau bukan berkurang, bahkan makin bertambah. Dengan semangat baru, beliau menyebarkan Muhammadiyah ke luar Alabio, mengadakan perjalanan tidak hanya di tempat-tempat sekitar Alabio, bahkan sampai ke tempat-tempat lain di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan juga Kalimantan Barat. Usaha beliau tidak sia-sia, berdirilah sampai ketika wafat beliau, Muhammadiyah di Hambuku, Sungai Tabukan, Jarang Kuantan dan Pandam Pelantan Sihin (masuk Kabupaten Hulu Sungai Utara), Kelua dan Haruai (Kab. Tabalong), Pauh Birayang (Kab. Hulu Sungai Tengah), Kandangan dan Negara (Kab. Hulu Sungai Selatan), Rantau (Kab. Tapin), Martapura dan Karang Intan (Kab. Banjar), Banjarmasin (Kodya Banjarmasin), Anjir Serapat, Kuala Kapuas, Madumai, Muara Teweh, Puruk Cahu, Sampit, Muara Samba, Kasungan, Tumbang Sinamang, (Kalimantan Tengah), Kotabaru, Pulau Laut, Balikpapan, Sangai-Sangai, Tanjung Redap, Pulau Derawan (Kalimantan Timur) Pontianak dan beberapa tempat lain di Kalimantan Barat.
   Di tempat-tempat itu dibangun sekolah-sekolah Muhammadiyah, dengan guru-gurunya kebanyakan dari keluaran Wustha/Mu’alimin Muhammadiyah Alabio, selain itu dari Jawa.
H. M. Japeri juga menghadiri kongres Muhammadiyah  lebih dari dua kali di Yogyakarta sebagai utusan Muhammadiyah Alabio, yang banyak menambah pengetahuan beliau mengenai organisasi Muhammadiyah dan tentang masalah-masalah yang dipecahkan terutama oleh majlis.
Beliau juga menghadiri konferensi-konferensi Muhammadiyah selain di Alabio, juga di Banjarmasin, Martapura, Kuala Kapuas, dan tempat-tempat lain di Kalimantan.
   Dalam kesibukannya itu, beliau mengarang beberapa buku yakni “Buku Neraca”, buku “Risalah Nasihatul Ikhwan” dicetak di Singapura, dan “Akidatul Iman wal Islam” yang dikarang dalam perjalanan ke Kotabaru, Pulau Laut dan dicetak ketika beliau berada di Balikpapan tahun 1910.
Aktif Berusaha dan Tekun Ibadah
  Dalam kehidupan beliau sebagai ulama dan pemimpin Muhammadiyah, H. M. Japeri memperlihatkan secara nyata, bahwa beliau seorang yang aktif berusaha bagi kehidupan dunia dan juga tekun beribadah. Beliau juga memberikan contoh dengan dirinya sendiri dalam hal memberikan sumbangan, dana dan pengorbanan.
   Seorang sahabat beliau, H. Bastami pernah berkata: H. M. Japeri menyiarkan agama bukan hanya dengan propaganda, tetapi beliau dengan perbuatan nyata dan bukti. Antaranya dengan harta bendanya.
   Dalam usaha untuk kehidupan keluarganya, H. M. Japeri antara lain memelihara ternak kerbau di Tempakang, Sambuju, Kecamatan Danau Panggang Babirik yang harus didatangi dengan naik perahu yang jaraknya cukup jauh dari Alabio. Juga mempunyai sawah dan kebun, di antaranya kebun karet yang sebagian dibagikerjakan oleh kaum tani.
  Karena itulah maka beliau bukan saja tidak menggantungkan keperluan hidupnya kepada Muhammadiyah, bahkan memberikan bantuan dan dana kepada Muhammadiyah.
H. M. Japeri seorang yang tekun dan taat beribadah. Dalam perjalanan dengan mobil dari Rantau ke Martapura melewati daerah padang yang luas yang dikenal dengan nama Padang Burung Lepas, bila tiba waktu shalat, beliau minta permisi pada sopir agar berhenti sebentar untuk shalat, baik di tepi jalan atau di rumah yang kebetulan ada di sana.
   Di rumahnya para tamu yang berkunjung biasa menemui beliau sedang shalat atau sedang membaca Alquran. Shalat sunat Rawatib, demikian pula puasa sunat beliau kerjakan dengan tekun. Kitab suci Alquran sudah ratusan kali beliau khatam membacanya.
Semuanya itu melatih beliau selalu takwa kepada Allah juga suka berbuat kebajikan kepada siapapun juga. Dan semuanya itu melatih pribadi beliau tidak pernah putus asa dan tidak menaruh dendam kepada orang-orang yang memusuhinya. Ketika sakitnya, seorang di antara orang yang semula memusuhinya, telah datang meminta ampun dan maaf kepadanya.

Tabah Menghadapi Halangan
    Karena beliau yang menjadi pelopor dan pembina Muhammadiyah di Alabio dan Kalimantan, maka alamat segala macam cercaan, fitnahan, kemarahan dan halangan rintangan yang pertama kali ditujukan kepada beliau.
    Bukan saja dengan perkataan, bahkan beliau diancam untuk dibunuh, baik ketika dalam perjalanan, waktu subuh ketika turun ke batang (sungai) untuk wudhu (mandi), waktu sedang berhujah dan bahkan ketika sedang shalat Jum’at di mesjid.
   Pernah pihak yang memusuhinya mengirim surat-surat kepada pihak pemerintah sampai kepada Inlandsche Zaken di Jakarta agar beliau dihentikan sebagai khatib di mesjid Jami’. Pemerintah kemudian mengadakan pemungutan suara, ternyata 90% suara menghendaki beliau tetap sebagai khatib.
   Ketika beliau untuk yang kedua kalinya berada di Mekkah beliau diancam dan diadukan kepada Raja Syarif Husain oleh beberapa ulama yang bertentangan faham dengan beliau ketika di Alabio. Tetapi berkat pembenaran yang beliau tegakkan dan teguhnya sikap pendirian beliau, beliau selamat dari fitnahan dan tuduhan yang tidak beralasan itu.
   Semua itu beliau hadapi dengan penuh ketabahan, tanpa rasa dendam, dengan senyum menghias bibir. Karena di samping keimanannya yang teguh kepada Allah dengan berpedoman kepada teladan Rasul-Nya dan penghargaan kepada sikap pendirian pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan, H. M. Japeri mempunyai banyak kawan dan pembantu yang sepaham dan sependirian. Yaitu ulama-ulama sahabatnya, pemuda-pemuda yang tegar dan terutama ayahnya sendiri H. Umar yang berani membelanya dan memberikan bantuan dengan harta benda, dengan kerbaunya untuk kegiatan dan amal usaha Muhammadiyah yang beliau gerakkan.
   Pada akhirnya hayat H. M. Japeri tiba jugalah. Dalam perjalanan untuk mendakwahkan Muhammadiyah beliau mendapat sakit, hingga harus dirawat di rumah sakit Balikpapan, kemudian di Banjarmasin.
    Kembali ke Alabio, walaupun mendapat nasehat dokter agar beliau banyak istirahat, beliau aktif kembali untuk kepentingan Muhammadiyah. Karena itu penyakit beliau, mulai tanggal 3 Mei 1932 kumat kembali.
   Dan penyakit itulah yang kemudian menjadi lantaran bagi akhir hayatnya, walaupun bermacam obat paten telah ditelan oleh beliau. Di waktu sakitnya yang makin keras itu, bila ada sahabat dan umum yang menengoknya, masih selalu keluar nasehatnya, terutama mengenai tauhid, bahkan shalat lima waktu masih selalu beliau laksanakan.
   Lebih kurang dua bulan beliau sakit, sesudah shalat Ashar, memberikan wasiat kepada keluarga, anak-anaknya yang menengoknya serta membaca kalimat: “La ilaha illalaah”, hari Selasa Tanggal 2 Rabi’ul Awwal 1351 bertepatan dengan 5 Juli 1932 jam 17.00, beliau berpulang ke Rahmatullah dengan tenang, dalam usia lebih kurang 61 tahun menurut Hijriyah atau lebih kurang 57 tahun menurut Masehi.
   Keluarga dan warga Muhammadiyah berkabung kewafatan H. M. Japeri itu. Dari HB Muhammadiyah Yogyakarta, dari beberapa cabang dan group Muhammadiyah di Kalimantan diterima telegram berduka cita.
   Pidato-pidato pelepasan beliau ke tempat terakhirnya di dunia diucapkan oleh teman-teman seperjuangan beliau seperti H. Bastami, H. Hasbullah Yasin, Bastami Jantera, sedang atas nama keluarga adalah M. Hasan Japeri.
   Demikianlah telah berlalu seorang ulama Kalimantan, yang menerima benih Muhammadiyah pertama kali, kemudian dengan tekun menyebarkan, menabur, memupuk dan membina tunas pohonnya, pertama kali di Alabio, kemudian di tempat-tempat lain di Kalimantan. Ia telah berjuang dengan ilmunya, fisiknya, tanpa mengenal istirahat sampai Allah memanggilnya kembali.
Benih yang mula-mula kecil dan alit itu sudah menjadi pohon besar dan berkembang, memberikan manfaat. Adalah tugas penerus Muhammadiyah di Kalimantan, yang harus  membina terus Muhammadiyah, dengan meniru teladan bagaimana amal usaha dan perjuangan H. M. Japeri pada kurang lebih setengah abad yang silam.

“ARABISCHE SCHOOL” DI PEKAPURAN AMUNTAI
    Manakala didapat kabar bahwa di Pekapuran Amuntai telah berdiri sekolah Arab dengan nama “Arabische School” di bawah asuhan H. Abd. Rasyid, maka atas dorongan dan restu para orang tua, berangkatlah berbondong-bondong dengan sepeda beberapa pelajar dari Alabio, ada yang pulang pergi dan ada pula yang mondok di sana. Di antara mereka adalah: Hasbullah Yasin – Bakri Khalil – Masdar Muhammad – M. Ramli – Abd Mu’thi – H. Masaid – Masthur Hasan – H. Sulaiman – Dupri – Amir Hasan Koderi dan lain-lain, mereka ini diberikan nasehat oleh orang tua-tua agar belajar sungguh-sungguh, kepada mereka digantungkan harapan untuk menjadi ulama di masa yang akan datang.

C. Muhammadiyah  Masuk ke Alabio
     H. Usman bin H. M. Amin tinggal di Lawang Agung Surabaya, pekerjaan berdagang meja kursi, almari jati (meubel), asal kelahiran Sungai Tabukan (Alabio). Beliau ini salah seorang anggota Muhammadiyah. Beliau juga termasuk orang yang terhormat di Surabaya. Beliau mendirikan “Persatuan Putera Borneo” di Surabaya. H. Usman Amin mempunyai hubungan yang baik dengan pemimpin-pemimpin di Jawa seperti KH. M. Mansur, KH. Fakih Usman, H. Agus Salim, Sangaji, Wondoamiseno, Ahmad Syurkati, Umar Hubas, Ir. M. Noer, Dr. Soetomo dan lain lain. Dalam pekerjaan beliau sebagai pedagang, beliau sangat rajin menambah ilmu pengetahuan agama, sampai-sampai belajar tetap di rumah sendiri dengan didatangi guru Ahmad Ghanaim ulama Arab dan lain-lain.
    Manakala beliau mendapat kabar bahwa di negeri asalnya Alabio terjadi pergolakan hebat antara kaum muda dan kaum tua dikirimnyalah surat-menyurat (korenspondensi) dengan H. Jafri di Alabio. Diminta beliau agar H. Jafri sudi berkunjung ke Surabaya untuk melihat-lihat perkembangan pergerakan umat Islam di tanah Jawa. Pada tahun 1923 berangkatlah H. Jafri ke Surabaya dan oleh H. Usman Amin beliau dibawa ke Yogyakarta menemui Pimpinan Muhammadiyah dan melihat-lihat usaha Muhammadiyah seperti rumah sekolah, rumah yatim, rumah miskin dan lain-lain. Sempat pula H. Jafri ziarah ke makam KA. Dahlan pendiri Muhammadiyah. Perkunjungan H. Jafri ke Yogya ini menumbuhkan simpatinya dengan Muhammadiyah. Pada tahun 1923 itu beliau H. Jafri telah menjadi anggota tersiar Muhammadiyah dengan kartu anggota nomor buku 12.541.
     H. Jafri mengadakan tukar pikiran dengan H. Usman Amin secara serius (sungguh-sungguh) dan sepulangnya H. Jafri ke Alabio, beliau mengadakan permusyawaratan dengan pengikutnya pada alim ulama, hartawan, tetuha-tetuha dan sebagainya mengenai Muhammadiyah. Bulatlah permurakatan, setuju mendirikan cabang Muhammadiyah di Alabio, karena asas dan tujuan Muhammadiyah sejalan dengan aliran paham yang sedang mereka anut. Tambahan lagi di Muhammadiyah sebagai suatu organisasi, berhubungan ke atas dan ke bawah menurut struktur organisasi tersebut ada pengurus besarnya (Hoofs Bestuur) yang sekarang dengan istilah pimpinan pusat, bukanlah kita berdiri sendiri sebagaimana kaum muda ini bertanggung jawab setempat.
    Bertemulah ruas dengan buku, jarum dengan kalindan. Mulailah diadakan persiapan-persiapan seperti mendaftarkan anggota (calon anggota), rencana-rencana mendirikan sekolah dan sebagainya. Untuk langkah pertama adalah mendatangkan seorang guru dari Yogya yang nantinya akan mengajar di sekolah Muhammadiyah dan memberikan tuntunan-tuntunan mengenai organisasi Muhammadiyah.
    Atas pertolongan H. Usman Amin berurusan dengan PP. Muhammadiyah di Yogya, datanglah seorang guru yang dimaksudkan itu pada bulan Agustus 1925. Bagi guru ini, tentunya merasa asing tinggal di Alabio yang letaknya jauh di udik pulau Kalimantan, yang dahulu dikatakan orang: Orang Borneo makan orang. Tata cara hidup di Alabio, makanan orang Alabio berbeda dengan keadaan kampung halamannya. Guru tersebut datang bersama isterinya, seorang anak kecilnya perempuan dan seorang pesuruh. Nama guru itu Ridlwan, isterinya Saringatun, anaknya Untari, dan pesuruhnya Abdullah. Isteri guru itu menyebutkan suaminya Masridluan, sedang guru itu menuliskan namanya Ridluan Hajir dan orang-orang kaum Muhammadiyahnya menyebut “guru Masridluan Hajir”.
Letaknya perbedaan-perbedaan ini begini: panggilan mas, adalah diuntukkan bagi orang yang masih muda dengan penuh kehormatan, disebabkan beliau merantau jauh ke dalam rimba Borneo, maka beliau menyebutkan dirinya orang yang pindah kediaman (hajir = muhajir).
    Sejak itu mulailah Pengurus Muhammadiyah dan Sdr. Ridlwan bekerja keras mengatasi berbagai macam kesulitan mengenai izin mendirikan sekolah kepada Camat (Ass. Kiai/Ass. Wedana) dan H.P.B. Tuan Kontelir di Amuntai. Pada bulan Pebruari 1926 dapatlah dibuka dengan resmi sekolah Muhammadiyah dengan murid sebanyak 350 anak bertempat pada 5 buah rumah di Kampung Teluk Betung, yaitu rumah-rumah: H. Saman, H. Matsif, H. Saaluddin, H. Masdar dan Dakhlan Abdullah (Ja’far alm.). Untuk memperlengkap tenaga guru pada sekolah ini, didatangkan lagi beberapa orang guru secara berangsur-angsur yaitu guru-guru: As’ad Al-Kalaly dari Cerebon (Al Irsyad), Kusno, Abd. Mu’thi dari Jogja dan Tafsir dari Jogja, ditambah dengan guru-guru dari Alabio sendiri.
    Rumah H. Saman adalah pusat kegiatan Muhammadiyah. Rumah tersebut dijadikan rumah sekolah. Di ruangan dalamnya tempat tinggal guru-guru Ridlwan sekeluarga, As’ad dan Kosnu. Dari pagi sampai jam 13.00 komplek ini ramai dengan murid-murid sekolah; dari jam 14.00 s.d jam 17.00 sore ramai pula dengan sekolah agama sore untuk menampung anak-anak yang waktu paginya bersekolah di SD Negeri. Waktu malam hari rumah H. Saman terang dengan lampu pompa gasoline karena diadakan lagi sekolah malam “Menyesal School”, untuk orang-orang dewasa dan tua-tua yang pakai kacamata, dengan mata pelajaran baca tulis huruf Latin dan bahasa Arab.
    Memang ramai dan meriah, sebentar-sebentar kedengaran riuh tertawa. Sekolah ini banyak menghasilkan orang-orang yang bisa baca tulis huruf dan bisa bercakap-cakap bahasa Arab sekedarnya. Kadang-kadang diadakan pula tabligh-tabligh pada malam-malam tertentu.
Lantaran demikian, H. Saman yang empunya rumah untuk tempat gerakan-gerakan Muhammadiyah ini sangat banyak pengorbanannya. Tetapi beberapa orang keluarga beliau seperti: H. Birhasani, H. Asmail, H. Maswi, Dakhlan Abdullah, H.Masdar, H. Hasjim, dan lain-lain selalu memperhatikan beban tanggungan ini, yang ikut memikirkan segala-galanya.

D. Daya Tarik di Muhammadiyah
   Untuk kelancaran jalannya Muhammadiyah, kepada guru-guru diberikan tugas memajukan organisasi kemuhammadiyahan, sedang ulama-ulama dan tetuha-tetuha memajukan pengajian mengisi rohaninya warga Muhammadiyah. Tiap-tiap guru ada mempunyai keistimewaan (maziyyah)nya masing-masing.
1. Guru Ridlwan selain dari pada pandai dalam ilmu-ilmu agama, beliau mempunyai keahlian berpidato.
2. Guru As’ad selain dari pada pandai berbahasa Arab, beliau juga pandai berbahasa Belanda. Bilamana As’ad menghadap tuan Kontelor di kantor, atau tuan Kontelor datang ke sekolah, mereka sama-sama memakai bahasa Belanda, As’ad ini termasuk orang yang pemberani (tidak penakut) berhadapan dengan siapapun. Beliau mempunyai hobi menembak dengan senapan angin, beliau juga memberikan pelajaran gymnastik, standen, ringen dan rupa-rupa keolahragaan.
3. Guru Kusno adalah seorang ahli mesin, beliau bekas masinis kereta api. Beliau pandai menggesek biola dan pandai menggambar (seni lukis).
4. Guru Abd. Mu’thi mempunyai kecakapan main bola. Badannya besar dan tegap, tendangannya kuat. Dalam beberapa kali pertandingan, beliau diminta menjadi “bek”. Bilamana bola sudah berada di kaki beliau, musuh merasa gentar, karena kalau beliau menendang bola dapat menuju sasarannya dengan tepat atau menuju gawang sama sekali. Hanya saja beliau bermain dengan celana di bawah lutut, boleh jadi lantaran rasa tebal keimanannya sebagai guru agama. Beliau jarang-jarang ikut bermain, hanya menonton saja, kalau diajak beliau segan-segan.
5.  Guru Tafsir banyak pengetahuannya tentang kepanduan, sering-sering beliau berangkat dari rumahnyadi Sungai Pandan dan sesampainya di sekolah dengan pakaian kepanduan H.W. tetapi lantaran guru ini tidak lama tinggal di Alabio, tidaklah sempat mendirikan kepanduan H.W.

Nyanyian-Nyanyian Sekolah
    Semua guru-guru pada umumnya pandai menyanyi dan pandai mengajar nyanyian. Nyanyian-nyanyian guru Ridlwan, adalah lagu-lagu yang berjiwa agama dan kemuhammadiyahan. Nyanyian-nyanyian yang diajarkan oleh guru As’ad kebanyakannya berbahasa Arab berirama mars (nasyit) yang isinya perjuangan, umpamanya lagu-lagu: Halammu ya ahlal authani, Sjuddu’ alal jurdi, Sieru lil majdi. Beliau juga yang mula-mula mengajarkan lagu Wilhelmus (lagu kebangsaan Belanda). Ada suatu nyanyian yang banyak menarik perhatian orang banyak dalam ilmu seni suara disebut “Birama bergaya” yaitu lagu yang disertai gayanya, itulah lagu “Sieru lil majdi thurran”. Murid-murid yang dipilih oleh guu berbaris-baris. Pada baris depan: Sdr.H. Hasan Asnawi, Ahmad Azra’i, Erfan Jafri. Manakala nyanyian sampai kepada Saufa nahmiki, wabil arwahi nafdiki, ieh ummatal Islam ....
Penyanyi-Penyanyi tadi menggerakkan tangan kanan dan diangkat ke arah dada, kemudian diturunkan. Gemuruhlah tepukan tangan para orang tua murid, keluarga anak yang menyanyi terharu melihat anaknya yang menyanyi sampai meleleh air mata, sedang wanita-wanita (ibu-ibu) berdesak-desak mau ikut melihat. Anehnya lagi, banyak bapak-bapak kita yang tua-tua itu hafal akan nyanyian-nyanyian sekolah, kalau waktu ada keramaian-keramaian sekolah dan kena acara nyanyian, kita lihat di antara bapak tadi mulutnya bergerak-gerak mengikuti menyanyi dengan suara sayup-sayup kedengaran. Nanti di rumah waktu istirahat, mereka duduk-duduk diberanda maka menyanyi-nyanyilah bapak-bapak dengan lagu-lagu sekolah. Lagu-lagu sekolah dahulu itu semua baik-baik isinya, bukan seperti lagu-lagu orang-orang dewasa ini yang banyak menjurus kepada pembakaran sex.
     Banyak daya tarik dalam Muhammadiyah dan sekolah Muhammadiyah, karena belum ada pernah terjadi di Alabio yang seramai Muhammadiyah. Dengan adanya daya tarik ini, kelihatan sekali kemajuan Muhammadiyah Alabio secara drastis.
a. Saya sendiri yang bersekolah pada Sekolah Gubernemen (SDN) tak dapat menahan diri dan pindah ke sekolah Muhammadiyah.
b.  Dua orang terpelajar lulusan sekolah guru (kweekling) di Kandangan, masuk Muhammadiyah dan dijadikan guru pula oleh Muhammadiyah, padahal kedua orang tua mereka tidak menyukai Muhammadiyah. Kedua orang ini adalah: Pak Dakhlan Saal dan H. Ardi Lait. Kedua beliau (sdr. Sepupu), menjadi tokoh penegak Muhammadiyah, Pak Dakhlan menjabat Ketua Wakil Majelis Pemuda Kalimantan Selatan, Pak Ardi Lait penggerak kepanduan H.W. (Bapak Athfal).
c.  Pemuda/dewasa yang pada mulanya nakal-nakal dan di antaranya kaki (ahli judi) menjadi sahabat guru As’ad. Hampir tiap sore diadakan berlatih menembak (dengan senapan angin menembak belik susu), sering-sering pula malam-malam makan bersama dengan itik panggang ala Alabionya.

Murid-murid Kelas Tertinggi Dijadikan Kader
     Pada waktu itu murid-murid kelas tertinggi disebut kelas I W, maksudnya sebagai kakak, dan oleh orang tua diharapkan jadi pengganti mereka di mana yang akan datang untuk memegang pimpinan Muhammadiyah. Mereka ini sering kali diserahi berpidato atau mengisi acara Maulid atau Isra mi’raj, karena mereka telah banyak hafal Hadis-Qur’an. Nama-nama mereka adalah: (Saya gabungkan antara angkatan pertama dengan angkatan kedua). 1. Iskandar Hasan, 2. Mas’ud, 3. Masrani, (H. Anwar Firdaus), 4. Amin, 5. Nasri Juhri, 6. Arpan Said, 7. Ma’shum Yasin, 8. H. Muhdar Hasan, 9. Hasan P., 10. Abdul Hasan, 11. Abd. Karim Salu, 12. Abd. Karim Diris, 13. Abdullah Daway. 14. M. Saifullah, 15. Amir Hasan Kaderi, 16. H. Saifuddin (sekarang purnawirawan letnan kolonel), beliau ini, dikagumi dengan melantangkan suaranya, jelas tutur katanya, keras tekannya. Yang kedua Amir Hasan, dikagumi pula susun kata-katanya yang berirama, tamsil-tamsil yang diibaratkannya.

PENGIRIMAN PELAJAR KE JAWA
    Untuk persiapan dan pembinaan pimpinan di masa yang akan datang, dikirimlah pemuda-pemuda sebanyak-banyaknya untuk belajar/bersekolah ke tanah Jawa dalam beberapa gelombang. Mereka itu adalah: Mandar M, H. Ramli, Darmawi, H. Syata, Masthur Hasan, Abd. Mu’thi, Abdullah M. Japri, Abd. Karim J, Hasan Jaferi, H. Kasyful Anwar J., Nawi Husin, Basuni Jantera, H. Hasan Jantera, Arifin Jantera, H. Basran H. Abu Bakar, Hanafi Amir Hasan, H. Saifuddin dan lain-lain. Dari mereka semua itu ada yang memasuki Kweekschool, H.I.S. metode koran, Schakel school Jogja dan Mulo Solo dan sebagainya.
    Kemudian pada tahun 1932 dikirim pula dua orang puteri umum memasuki Mu’alimat Jogja, yaitu: St. Aminah dan St. Syamsiah.

MENGHADAPI UJIAN
   Jika H. Jafri mengadakan pembacaan setiap hari Ahad di surau beliau, mulai pagi sudah berbondong-bondong orang datang mengunjungi pengajian tersebut. Ada yang berjalan kaki, dengan sepeda, perahu kecil-kecil isi 4 atau 5 orang sambung-bersambung dari hulu ke hilir. Sebelum pembacaan dimulai, surau beliau sudah penuh dan nanti sebelum tengah hari, pembacaan sudah selesai. Biasanya orang yang datang dari jauh-jauh atau tetuha-tetuha masih bertahan menunggu shalat Dhuhur berjamaah dengan tuan guru. Kepada mereka ini biasanya H. Jafri memberi jamuan dengan minuman atau makan tengah hari sama sekali.
    Di antara hadirin yang mengikuti pembacaan beliau termasuk alim ulama, golongan cerdik pandai, seumpama: KH. Hasan Corong Ass. Wedana Babirik, Anang Durahman Hambuku Hulu, Abd. Samad guru kepala Inlandsche School, Tubasar Sungai Pandan (pokrol) dan lain-lain. Kadang-kadang pembacaan beliau mendapat sanggahan (debat) dari hadirin. Karena pandainya si pendebat, orang banyak mengira tuan guru akan kalah debat. H. Jafri mendengarkan dengan tenang sanggahan-sanggahan mereka, kemudian beliau memberikan penjelasan yang dapat dipahami dan dapat diterima akal. Si pendebat mengakui keahlian dan ketinggian ilmu yang dimiliki oleh tuan guru mereka H. Jafri itu.

Debat di Kandangan
    H. Jafri pernah mendapat undangan dari tuan Mufti Kandangan, untuk mengadakan muhadharah (debat) dengan ulama-ulama di Kandangan (Hulu Sungai Selatan), mengenai masalah-masalah yang difatwakan oleh H. Jafri. Berangkatlah beliau dengan auto ke Kandangan pada hari yang dijanjikan, diiringi oleh H. Ahmad Hanafiah, As’ad Al Kalaly dan beberapa tokoh Muhammadiyah. Kitab-kitab pun dibawa berpuluh-puluh buah. Perdebatan dihadiri oleh Kiai Besar (bupati). Ulama-ulama Muhammadiyah sebenarnya telah matang, malah telah hafal alasan yang tersebut di kitab-kitab mengenai masalah yang diperdebatkan. Coba buka kitab anu juz sekian dan halaman sekian, buka lagi kitab anu juz sekian halaman sekian, perkataan siapa itu, apakah salah perkataan itu ataukah kita yang salah, dan seterusnya. Suasana tambah panas, maklum orang Kandangan berdarah panas. Hadirin ribut dan ada yang berteriak: Tarik orang yang berkopiah palung (tarbusy) itu, bawa sini aku akan potong hidungnya. Yang mereka maksudkan adalah As’ad Al Kalaly yang berpengawakan seperti orang Eropah, badan tinggi, kulit putih dan hidung mancung. H. Jafri kalau bicara, tenang dan sabar secara ilmiah, tetapi As’ad sudah sifatnya keras, sering memberi umpan-umpan, kalau musuh sudah terjebak (knock out) miriplah sebagai cara debatnya A. Hasan Persis Bandung/Bangil. Walaupun perdebatan tidak membawa hasil apa-apa, tapi lama kemudian As’ad mengambil isteri keluarga kiai besar bernama Murah dan dibawa ke Alabio. Pada tahun 1931 Muhammadiyah berdiri di Kandangan.

Debat di Barabai
    Saya pernah mengikuti rombongan Fakhruddin Al Qahiri dan H. Kamar yang akan mengadakan debat (diskusi) dengan ulama-ulama di kota Barabai. Kejadian tersebut terjadi pada tahun 1939. saya berangkat bersama-sama tokoh-tokoh Muhammadiyah Haruyan.
    Walaupun Fakhruddin itu orang Persis tetapi tidak banyak bedanya. Masalah yang diperdebatkan, soal itu-itu juga, ushalli, sentuh wanita, sentuh mushaf Qur’an dan lain-lain. Keunggulan kedua orang kita ini masing-masing diakui. Oleh sebab itu orang mencari-cari jalan lain akan menjatuhkan Fakhruddin. Seketika ia sedang bicara di atas podium sambil merokok, pimpinan rapat mengetuk meja kemudian berkata: “Mengapa tuan membacakan Qur’an dan Hadis sambil merokok?” Spontan Fakhruddin  menjawab: “Adakah hadirin melihat Saya membaca Qur’an sambil merokok? Wah kata Saya dengan H. Ahmad Bukhari, Fakhruddin ini berkata ”Mahalabiyu”. Akhirnya rapat bubar, menurut kabar angin kami akan dihadang dengan serbuan orang-orang jahat.

MENDIRIKAN RUMAH SEKOLAH
    Untuk memenuhi hajat sekolah Muhammadiyah yang telah mempunyai murid-murid banyak, sedang tempat belajar hanya menumpang di rumah-rumah, bermufakat pulalah pimpinan Muhammadiyah untuk mendirikan sebuah rumah sekolah yang permanen. H. Jantera si pemilik tanah mewakafkan selembar tanah yang cukup luasnya terletak di perbatasan Kampung Teluk Betung dan Pandulungan. Pak Aman diutus untuk membeli kayu perabot ke Banjarmasin.
    Pada hari kerja bakti untuk membersihkan tanah tempat mendirikan rumah sekolah tersebut, beratus-ratus warga Muhammadiyah bekerja, tua muda, besar kecil, ulama-ulama, para hartawan semua lengkap. H. Jafri sendiri ikut kerja keras, tidak hanya tegak berdiri saja. Sewaktu Pak H. Jafri memotong atau menebas ranting-ranting bambu, tiba-tiba sebuah rantingnya yang runcing melenting mengenai muka beliau dan nyaris memecahkan mata beliau. Dahi H. Jafri mengucurkan darah, semua pekerja terkejut dan berkerumun mendekati beliau. Luka tersebut segera diobati, akhirnya sembuh juga, namun bekas luka (kunat) di dahi beliau tetap melekat selama-lamanya. Kunat tersebut melukiskan sejarah permulaan dari pendirian gedung sekolah Muhammadiyah di Alabio, yang akan menjadi saksi kelak di hadapan Allah pada yaumul hisab.
     Manakala kayu-kayu perabot telah datang, tukang kayu dan tukang batu dari Banjarmasin telah siap, dimulailah mendirikan rumah sekolah gedung yang megah itu, perabot kayu ulin, dinding papan, atap sirap, lantai beton dengan ukuran 50 x 6 meter, terdiri dari 6 bilik. Biaya disaat itu sebesar f 50.000,- Dibarengi pula dengan bangunan sebuah rumah dari lima pintu termasuk sebuah ruangan kantor Muhammadiyah. Bangunan ini selesai pada tahun 1928 dan dipindahi pada tahun tersebut, sedang segala perlengkapan berupa meja, bangku, kursi, almari, papan tulis, semua daripada kayu jati yang sebahagian besar adalah wakaf H. Usman Amin di Surabaya.
     Dari manakah Muhammadiyah memperoleh dana yang sebanyak itu? Apakah ada sumbangan dari luar? Sebenarnya tidak ada, semua dari kantong pundi-pundi warga besar Muhammadiyah sendiri. Seluruh warga Muhammadiyah wajib infak. Golongan hartawan dari Muhammadiyah adalah di antaranya: H. Jantera, H. Arsyad, A. Abdul Hasan, H. Salim, H. Thalib, H. Damanhuri, H. Hasyim, H. Jahri, H. Ma’nawi, H. Abdullah Saefuddin, H. Birhasani, H. Asmail, H. Saman, H. Ibrahim Sanang, H. Tahat, M. Busyra, H. Halit, H. Sahari, Abdullah, H. Nasri, dan lain-lain. Memang tokoh-tokoh dermawan sangat banyak, lain lagi dari pemuda dan alim ulamanya sebagai H. Jafri sendiri, H. Ahmad Hanafiah.

GERAKAN ‘AISYIAH
    Gerakan ‘Aisyiah sejak mulai Muhammadiyah didirikan di Alabio, belumlah kelihatan apa-apa, namun sudah mulai dirintis oleh guru Ridlwan bersama isterinya Saringatun. Bapak H. Jafri selalu memberikan bimbingan-bimbingan bagi kaum ibu dan untuk lebih mantap didatangkanlah seorang guru wanita keluaran Mu’alimat Yogyakarta yang bernama St. Khadijah anak keponakan KH. Bagus Hadikusumo untuk memimpin gerakan kaum wanita (‘Aisyiah). Sedatangnya beliau bersama seorang pembantu wanita, ditempatkan di rumah H. Jafri sendiri. Ibu Khadijah mulai mengadakan gerakan-gerakan kaum ibu berupa ceramah-ceramah agama, dan kursus baca tulis dengan mengambil tempat di langgar H. Jafri bahagian bawah. Kemudian Ibu Khadijah ini diambil menantu oleh H. Jafri menjadi isteri Sdr. Abdul Karim Jafri.

E. Ranting-Ranting
    Manakala kedudukan Muhammadiyah Alabio telah kuat, telah sanggup menghadapi berbagai halangan dan rintangan, tibalah saatnya menyebarluaskan Muhammadiyah ke beberapa tempat sekitarnya dengan mendirikan ranting-ranting dalam wilayahnya serta menjadi pemeliharaan dan pengawasan Alabio di:
1.  Jarang Kuantan
Di Jarang Kuantan banyak sekali famili H. Jafri dan telah lama mendapat pelajaran dari beliau. Di situ ada seorang ulama yang menjadi pimpinannya bernama H. Basri.
2.  Sungai Tabukan
Sungai Tabukan adalah tempat kelahiran H. Usman Amin. Famili-famili H. Usman Amin ini yang dikepalai oleh H. Ma’shum mendirikan ranting Muhammadiyah.
3.  Hambuku Hulu
Di Hambuku Hulu ada seorang ulama yang bernama H. Jafri adalah kelahiran Alabio, beliau mendirikan ranting Muhammadiyah bersama orang-orang yang terkemuka di sana, yaitu H. Abbas, H. Ismail, dan lain-lain.
4.  Haruyan
Di Haruyan ada seorang ulama yang berpengaruh besar bernama H. Shalih. Beliau mendirikan ranting Muhammadiyah bersama dengan beberapa tokoh orang yang berpengalaman luas, yaitu:  Ahmad Bukhari, H. Hasyim, H. Ahmad Aswad, Maskur, dan lain-lain.
5.  Berdiri lagi Muhammadiyah di Kandangan dan Rantau yang dibawa oleh pedagang-pedagang Alabio: H. Birhasani, H. Saman, H. Asmail, H. Hasil dan kawan-kawan, berdirinya di Rantau dengan tambahan Matlima dan guru Abdul Samad.
6.  Haruai pun menyusul dibawa oleh Amir Hasan bin Asit dari Alabio. Tumbuh lagi di Kelua yang disambut oleh H. Basri, H. Abdul Hamid, Awang Martaguna dan lain-lain. Mereka yang rapat hubungannya dengan Dahlan Saal, di Negara Kampung Tambak Bitin, menyusul lagi tidak mau ketinggalan, walaupun Negara banyak ulama penantang kitab-kitab karangan H. Usman Amin, Negara bergelar Serambi Mekkah, Negara baru letih disebabkan perang urat saraf antara Penegak Masjid Pasungkan dengan Tumbukan Banyu. Di sana persoalannya ta’addud Jumah memuncak sampai terjadi kaum “pembuka” dan kaum “penutup” perkaranya ditangani Departemen Voor Inlandsche Zaken Tuan Koba. Muhammadiyah dapat tumbuh bersama kaum Arab.

F. Lajnah Tarjih
    Muhammadiyah itu adalah suatu gerakan Islam, dalam Gerakan dasarnya pasal 4 alinea 6: memperdalam penyelidikan ilmu agama Islam untuk mendapatkan kemurniannya. Maka bagi cabang Muhammadiyah Alabio segera membentuk bagin “Lajenah Tarjih”. Bagi ulama-ulama Muhammadiyah Alabio telah dirasakan keperluannya, karena mengeluarkan fatwa, baik untuk warga sendiri atau menghadapi luar, sangat diperlukan mana yang “rajah” dan mana pula yang “marjuh”. Bukanlah Muhammadiyah itu dalam pelaksanaan amaliah sehari-hari harus sesuai dengan dengan Sunnah Rasulullah. Dihimpunlah ulama di cabang dan ranting, didaftarkan pula kitab-kitab yang dipunyai, H. Jafri sendiri ketua Lajnah Tarjih, dan kitab-kitab semua diwakafkan beliau kepada Muhammadiyah. Untuk memperlengkapi bahan-bahan bacaan tuan H. Usman Amin mengirimkan daftar kitab-kitab yang harus dipunyai oleh Lajnah Tarjih. Sekali lagi Pimpinan Muhammadiyah meminta darma infaq warga Muhammadiyah kepada seluruh warganya untuk pembelian ratusan kita-kitab besar. Seruan ini mendapat sambutan yang hangat, karena orang mengetahui kemanfaatannya dan itulah satu-satunya amal jariyah yang tinggi mutunya.
     Dipesanlah ratusan kitab kepada toko buku (Salim Nabhan Surabaya dan Abdullah bin Afif Ceribon) yang kemudian datanglah kitab-kitab tersebut beberapa peti. Bukan kepalang gembiranya alim ulama kita dan warga Muhammadiyah pada umumnya melihat timbunan kitab-kitab, jilid biasa, jilid afranji besar kecil. Dapat dikatakan hampir cukup Lajnah Tarjih mempunyai “kutub khasanahnya” komplet segala macam kitab untuk bahan muthala’ah. Kesemuanya huruf Arab berbahasa Arab. Bermacam tafsir, bermacam kitab hadis dengan syarahnya, Fathul Bari Syarah Bukhari 13 jilid, Syarah Muslim 7 jilid, tauhid, ushul, al’um karangan Syafi’i pun ada, sampai kepada Fathurrahman dan Miftah Kunuzil Qur’an dan sebagainya.
    Kitab-kitab ini disusun rapi di beberapa buah almari besar yang tersimpan dalam kantor Muhammadiyah dapat melihat susunan kitab-kitab itu yang sebelah atasnya kelihatan terpampang gambar besar Syekh M. Abduh sebagai guru KH. Ahmad dahlan dan guru H. Jafri, pembawa aliran tajdid.
    Adapun nama-nama ulama Muhammadiyah Alabio adalah: H. Jafri, H. Ahmad Hanafiah, H. Mansur, H.A. Hadari, H. Ahmad Penghulu, H. Bastami, H. Hasbullah Y, H. Matnur,  H. Tahir Penghulu, Jafri (Ijap), H. Basri Jarang Kuantan, H. Jafri Hambuku Hulu, H. Mustafa Negara, Muammal, Ardani dan lain-lain.

Sumber 

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)